Assalamualiakum all... Welcome to my Blog...
N Ternyata Lumayan banyak juga kawan-kawan dari FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PALANGKA RAYA yang berkunjung ke Blog tercinta ku ini.. Hahahaha Semoga dapat membantu..
Kasih Kritik dan saran kawan-kawan semua yah..!!
Makasih buat semua yang udah Berkunjung.... :)

5 Jun 2012

MAKALAH HUKUM PENANAMAN MODAL TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PENANAMAN MODAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Dalam dekade terakhir, penanaman modal tidak saja merupakan kebutuhan penting bagi suatu negara dalam pengembangan pembangunan ekonomi. Namun, juga merupakan sarana utama dalam pengembangan suatu industri. Terutama dalam era ini, liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam bidang investasi asing atau penanaman modal asing. Liberalisasi di bidang penanaman modal mengalir seperti air mengikuti arus membidik/mencari daerah sasaran yang paling menguntungkan. Investasi menggelinding laksana bola ke seluruh bagian penjuru dunia tanpa suatu hambatan berarti. Liberalisasi ekonomi dunia telah menghapuskan hambatan-hambatan yang dulu menghadang pananaman modal, baik hambatan tarif (tariff barriers) maupun hambatan nontarif (nontariff barriers). Globalisasi ekonomi dunia telah meniadakan sekat-sekat batas hubungan ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas (borderless). Investasi telah mengglobal, sebagaimana pasar global (global market) yang telah siap menerima hasil produk penanaman modal tersebut.
Indonesia adalah negara berkembang yang memerlukan investasi untuk meningkatkan dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan kesempatan kerja, mengembangkan industri substitusi impor, dorong barang industri, transfer teknologi, membangun infrastruktur, dan mengembangkan daerah yang kurang beruntung (daerah miskin). Pembangunan ekonomi dapat dilihat dari arus investasi, khususnya investasi asing yang memiliki tujuan untuk mendapatkan biaya tenaga kerja murah, dekat dengan sumber bahan produksi, mencari pasar baru, alih teknologi, royalty, keuntungan penjualan barang dan suku cadang, insentif lainnya, seperti pajak dan bea impor, juga status hukum dari negara tertentu dalam perdagangan internasional. Untuk menentukan adanya kepastian hukum di suatu negara dapat diukur dari sistem hukum yang terdiri dari tiga faktor yaitu: substansi hukum, stuktur hukum dan budaya hukum. Kepastian hukum ini harus mencakup aspek substansi hukum yang didukung oleh struktur hukum dan budaya hukum.
Penanaman modal menjadi suatu hubungan ekonomi internasional yang tidak terelakkan. Sebagaimana hubungan ekonomi internasional lainnya, penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga masyarakat. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingannya. Hal tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat internasional dalam liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi peningkatan hubungan penanaman modal internasional. Adanya perbedaan geografis, kondisi wilayah, potensi sumber daya alam, kemampuan sumber daya manusia, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan Negara berada dalam interdepedensi.
Di lain sisi negara penerima modal (host country) membutuhkan sejumlah dana dan teknologi dan keahlian (skill) begi kepentingan pembangunan dalam bentuk investasi. Disisi lain, investor sebagai pihak yang berkepentingan untuk menanamkan modal memerlukan bahan baku, tenaga kerja, sarana prasarana, pasar, jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk dapat lebih mengembangkan usaha dan memperbesar perolehan keuntungan. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal tersebut menggabungkan investasi asing dan investasi dalam negeri dalam satu undang-undang, yang didasarkan pada asas kesetaraan bagi semua investor. Kebijakan dasar investasi dalam UU Penanaman Modal dimaksud adalah memberikan perlakuan yang sama antara investor dalam negeri dengan investor asing, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. UU Penanaman Modal menegaskan bahwa investasi di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan perlakuan yang sama bagi investor dalam negeri maupun investor asing, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pada dasarnya, asas perlakuan yang sama merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah perikatan termasuk juga halnya dengan berinvestasi. Adanya asas perlakuan yang sama bagi semua investor menjadi landasan pengaturan investasi langsung dalam satu undang-undang, yang sebelumnya terpisah dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara yang melakukan investasi dimaksudkan sebagai asas perlakuan non-diskriminatif baik antara investor dalam negeri dengan investor asing, maupun antara investor dari satu negara asing dengan investor dari negara asing lainnya.
Perundingan investasi bilateral semakin banyak dilakukan oleh negara-negara dalam beberapa tahun terakhir. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perundingan investasi di forum multilateral atau forum WTO mengalami kebuntuan. Semakin banyaknya perundingan tingkat bilateral ini didorong oleh alasan pragmatis. Perundingan bilateral melibatkan lebih sedikit negara, yang membutuhkan biaya relative lebih rendah dan meminimalkan potensi timbulnya masalah rumit yang berada di luar jangkauan negara-negara kecil. Perjanjian BITs di bidang investasi antar negara telah berkembang dalam dekade-dekade terakhir dan bahkan telah menjadi salah satu perjanjian internasional yang penting.
B.     Tujuan Penulisan
Karya ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Penanaman Modal serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Bagaimana pengaturan perjanjian Internasional di Indonesia dalam Penanaman Modal.
C.    Rumusan Masalah
Agar tidak menjadi bias dan melebarnya pembahasan dalam Makalah ini, maka perlu untuk mengangkat permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau acuan maka permasalahan yang akan dibahas adalah “Bagaimana pengaturan perjanjian Internasional di Indonesia dalam Penanaman Modal?”


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Bilateral Investment Treaties (BITs)
Bilateral Investment Treaties (BITs) adalah perjanjian penanaman modal yang disepakati oleh dua Negara. Berdasarkan perjanjian tersebut, mereka sepakat untuk saling melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor antar-kedua negara.

Pengertian lain dari BITs ini adalah perjanjian antara kedua negara negara promosi, dorongan dan perlindungan timbal balik investasi ke masing-masing wilayah oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di negara lain. Biasanya perjanjian ini mencakup bidang-bidang berikut: ruang lingkup dan defenisi dari investasi, penerimaan dan pembentukan, perlakuan nasional, pengoobatan yang paling dibutuhkan oleh suatu negara, perlakuan yang adil dan merata, kompensasi dalam hal terjadi pengambilalihan atau kerusakan dengan investasi, jaminan dan transfer dana gratis, dan mekanisme penyelesaian sengketa, baik antara negara-negara maupun investor dengan negara.

B.     Pengertian Investasi / Penanaman Modal
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan sebagai penanaman uang atau di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan memperoleh keuntungan. Pada dasarnya investasi adalah membeli suatu asset yang diharapkan di masa datang dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi. Investasi juga dapat dikatakan sebagai suatu penundaan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa depan. Harapan pada keuntungan di masa datang merupakan kompensasi atas waktu dan resiko yang terkait dengan suatu investasi yang dilakukan.

Dalam kamus Istilah Keuangan dan Investasi digunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai arti: “Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula menunjuk ke suatu investasi keuangan (dimana inventor menempatkan uang ke dalam suatu sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”.

Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminology, investment, penanaman modal, investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.

C.     Perjanjian Internasional di Indonesia dalam Penanaman Modal
Menurut Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000, Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.

Negara-negara dunia sangat memanfaatkan kerja sama penanaman modal internasional sebagai forum untuk menyepakati berbagai isu penanaman modal terkini, Banyak Topik-topik global yang menjadi pokok bahasan aktual. Topik-topik tersebut didiskusikan pada forum bilateral, dua negara yang bersepakat akan menjadikannya sebagai sebuah langkah taktis untuk menciptakan daya saing maupun perlindungan bagi kegiatan penanaman modal di negaranya. Atau bisa juga isu-isu aktual tadi diimplementasikan lebih akurat agar dapat mempercepat dan mempertegas perjanjian penanaman modal yang bersifat regional, plurilateral bahkan multilateral.
Setiap anggota Delegasi Republik Indonesia (DELRI) yang akan menyepakati klausul International Investment Agreements perlu memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi. Mereka bahkan harus menempatkan spirit kepentingan nasional di atas segala-galanya seperti sebuah ideologi yang menyatu di hati dan sanubari. Di benak mereka harus terus merancang strategi bagaimana memosisikan Indonesia agar sejajar dengan negara-negara mitra runding yang delegasinya tepat berada di hadapan meja perundingan mereka.

Karena dituntut untuk menciptakan kesetaraan posisi Indonesia dengan negara-negara lain, para anggota DELRI harus piawai merumuskan dan menyepakati klausul International Investment Agreements yang dapat memberikan keuntungan sejajar. Penciptaan posisi tawar yang sepadan ini merupakan hak anggota DELRI yang dilindungi hukum nasional maupun hukum internasional, Sehingga betapa posisi suatu negara menjadi sangat tergantung dari sense of nationhood yang dimiliki para perunding. Ada mekanisme dalam hukum internasional yang membolehkan suatu negara tidak menyepakati suatu ketentuan dalam perjanjian internasional. Mekanisme itu disebut reservation (persyaratan) yang merupakan pernyataan sepihak suatu negara untuk menolak berlakunya suatu perjanjian internasional. Persyaratan tersebut dapat dilontarkan saat menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan naskah perjanjian internasional.

Atau bisa juga para perunding melakukan declaration (pernyataan). Hak itu dapat diajukan jika makna suatu perjanjian yang akan disepakati masih menyisakan banyak pertanyaan sehingga diperkirakan dapat merugikan kepentingan nasional. Declaration dilakukan dengan memberi catatan atau memperjelas makna ketentuan pada naskah perjanjian internasional. Sebagaimana reservation, pernyataan juga dilakukan ketika menandatangani, menerima, menyetujui bahkan mengesahkan perjanjian internasional yang biasanya bersifat multilateral.
Declaration dilakukan untuk memperjelas makna ketentuan perjanjian dan tidak untuk mempengaruhi hak dan kewajiban suatu negara dalam suatu perjanjian internasional. Hak ini diajukan secara sepihak oleh suatu negara dalam memahami atau menafsirkan suatu ketentuan perjanjian internasional, yang sekali lagi tentunya untuk diselaraskan dengan kepentingan nasional.


Reservation maupun Declaration biasanya akan menjadi senjata ampuh bagi para perunding yang bersuara kritis dalam membela kepentingan bangsa dan negaranya. Hal itu bisa terjadi karena pada forum perundingan internasional juga bisa diisi dengan berbagai kepentingan (agenda) negara-negara tertentu.

Misalnya seperti yang terjadi pada World Trade Organization yang bermarkas di Jenewa, Swiss. Sejak berdiri pada Januari 1995, bukan berarti forum itu selalu menghasilkan berbagai kesepakatan perdagangan global yang bebas dari kepentingan negara-negara tertentu. Meski bertaraf internasional, kinerja forum WTO tidak menjamin selalu terbebas dari keputusan yang tidak demokratis.

Seringkali pencapaian suatu keputusan di WTO dipengaruhi oleh empat kelompok negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada dan Uni Eropa. Di tengah kondisi seperti itu, pertemuan akbar WTO sering hanya menjadi ajang dengar pendapat dari negara anggotanya (per Juli 2008 mencapai 153 negara). Sementara kegiatan pengambilan keputusan berlangsung di Green Room, tempat berkumpulnya negara-negara berpengaruh tersebut dengan cara menggelar forum Ministerial Conference setiap 2 (dua) tahunan.

Karena nuansa pengambilan keputusan yang tidak demokratis, negara-negara (yang rata-rata negara berkembang) anggota lainnya hanya bisa menyetujui sebuah keputusan dengan sangat terpaksa. Ini sangat dramatis, karena di tengah belum adanya kesiapan negara-negara berkembang beradaptasi dengan iklim liberalisasi namun mereka harus mengakuinya dengan cara yang tidak aspiratif. Di sisi lain, jika kesepakatan itu kemudian dilalaikan, mereka akan terkena sanksi ekonomi dari WTO. Karena itu hak declaration atau reservation menjadi senjata andalan para perunding untuk memasukkan kepentingan nasional dan kesetaraan negaranya dalam sebuah forum kerja sama multilateral.

Kepentingan nasional dan kesetaraan Indonesia di antara bangsa-bangsa lain memang tidak bisa ditawar ulang, sehingga harganya harus diajukan setinggi langit. Ada pesan sinis yang kerap kali dikumandangkan oleh masyarakat yang menyatakan dirinya cinta bangsa dan negara kepada para elite bangsa ini, seperti:
1.      Jangan pernah menggadaikan bangsa dan negara!
2.      Jangan mau dinjak-injak oleh kepentingan asing!
3.      Jangan menjadi liberal atau neo-liberal!
4.      Jangan memperjuangkan kepentingan asing karena pasti menekan perekonomian rakyat?
Jika disimak, pernyataan kaum nasionalis tadi memang terasa memerahkan telinga. Namun jika dikaji lebih mendalam, apa yang mereka propagandakan selama ini ternyata sangat sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, pada Pasal 4 menggariskan:
1.      Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan suatu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
2.      Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Untuk meyakinkan kepentingan nasional dan kesetaraan kedudukan Indonesia telah terakomodasi dengan baik pada suatu perjanjian internasional, seperangkat prosedur telah disiapkan untuk mengujinya ketika perjanjian internasional dibawa pulang ke Tanah Air. Prosedur itu bertujuan untuk menyeleksi apakah spirit yang terkandung di dalamnya telah sesuai dengan semangat dalam undang-undang tentang perjanjian internasional. Sebab bisa saja para juru runding yang tergabung di dalam DELRI sempat lalai melaksanakan amanat masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut.
Namun demikian, proses untuk menampilkan naskah perjanjian yang sesuai dengan kepentingan nasional serta prinsip-prinsip persamaan kedudukan yang saling menguntungkan sesungguhnya telah diawali saat perjanjian internasional akan dibuat. Upaya seleksi preventif itu dimulai saat proses pembuatan perjanjian internasional diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Karena kewenangan dalam mengadakan dan menyepakati perjanjian internasional (hanya) berada di tangan presiden atau menteri luar negeri, maka lembaga negara maupun lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah (sebagai pihak yang berkepentingan) harus berkonsultasi dan berkoordinasi dahulu jika ingin merencanakan membuat perjanjian internasional.
Melalui mekanisme tersebut, spirit untuk menjaga kepentingan nasional serta kesetaraan Indonesia dengan negara-negara lain telah mulai dijalankan. Sebab setelah menteri luar negeri menyetujui usulan pembuatan perjanjian internasional, langkah selanjutnya adalah merumuskan posisi Pemerintah Republik Indonesia dengan cermat. Kertas posisi yang menjadi pedoman para anggota DELRI ketika terjun di arena perundingan itu memuat:
1.      Latar belakang permasalahan;
2.      Analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
3.      Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
            Melalui tahapan ini terlihat betapa tinggi semangat bangsa ini dalam menjaga kepentingan nasionalnya serta menciptakan kesetaraan posisinya. Dan hal itu sudah dimulai pada saat inisiatif awal rencana pembuatan perjanjian internasional sedang digulirkan. Selanjutnya spirit itu harus terus dikembangkan secara lebih bermakna oleh para perunding Indonesia yang memiliki kesempatan duduk di meja perundingan. Jadi, betapa nasib bangsa ini ke depan sangat tergantung dari peran, kecerdasan dan kelihaian para perunding tersebut yang memang terlibat aktif dari mulai tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan sampai saat penandatanganan perjanjian internasional.
            Kemudian, apakah tahap penjagaan sebuah perjanjian internasional telah selesai hanya pada upaya selektif yang preventif tadi? Ternyata masih ada tahap korektif yang perlu dilalui sampai sebuah naskah perjanjian internasional diberlakukan di masyarakat. Tahap seleksi korektif berikutnya dimulai ketika perjanjian internasional yang telah selesai disepakati kemudian dibawa pulang ke Tanah Air untuk dilakukan proses pengesahannya. Di tahap ini, tingkat kewenangan proses ratifikasi sebuah perjanjian internasional akan dibedakan sesuai substansi klausul kesepakatannya.
            Proses ratifikasi di tingkat parlemen perlu dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyepakati masalah mendasar (penting), seperti:
1.      Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara;
2.      Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3.      Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4.      Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5.      Pembentukan kaidah hukum baru;
6.      Pinjaman serta hibah luar negeri;
Melalui ratifikasi di tingkat parlemen, diharapkan spirit tentang kepentingan nasional dan kesetaraan Indonesia dapat diseleksi kembali keberadaannya oleh para anggota dewan yang duduk di parlemen. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan representasi rakyat Indonesia tersebut diharapkan mampu memberi penekanan yang baik terhadap naskah perjanjian internasional yang telah ditandangani oleh eksekutif yang tergabung sebagai anggota DELRI. Selanjutnya untuk perjanjian internasional yang memiliki subtansi tidak terlalu krusial, proses ratifikasinya cukup melalui keputusan presiden.

Lalu setelah selesai diratifikasi, apakah perjanjian internasional benar-benar mendapat pengakuan yang bulat? Ternyata tidak juga. Langkah penyensoran masih dapat dilakukan, meski sebuah perjanjian internasional sudah memasuki tahap pemberlakuan. Pemerintah Republik Indonesia masih diperbolehkan melakukan perubahan terhadap ketentuan-ketentuan pada perjanjian internasional berdasarkan kesepakatan para pihak yang terlibat di dalamnya. Meski demikian perubahan itu tidak boleh bersifat mendasar, namun hanya bersifat teknis administratif.

Sesungguhnya telah banyak rambu-rambu atau petunjuk-petunjuk yang dikeluarkan untuk menghasilkan naskah perjanjian internasional yang tidak menghianati asas kepentingan nasional dan kesetaraan Indonesia. Salah satunya adalah skema pembuatan perjanjian internasional yang disosialisasikan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Di bidang penanaman modal, SOP pembuatan perjanjian penanaman modal internasional juga sangat diperlukan. Hal itu perlu dibuat agar kesepakatan sebuah perjanjian penanaman modal internasional dapat dijalankan serempak dengan perangkat pemerintah daerah dan masyarakatnya. Kondisi yang masih dihadapai saat ini adalah nuansa ketidakpedulian perangkat dan masyarakat daerah terhadap perjanjian bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal yang banyak disepakati oleh pemerintah pusat. Kurangnya apresiasi maupun penghargaan dari mereka, karena:
1.      Perangkat dan masyarakat daerah tidak memahami keberadaan, peran dan makna perjanjian penanaman modal internasional yang telah disepakati pemerintah Indonesia bagi perkembangan penanaman modal nasional;
2.      Naskah perjanjian penanaman modal internasional tidak mengikat hal-hal yang aplikatif dan akurat dengan persoalan dan kebutuhan penanaman modal nasional;
3.      Perjanjian penanaman modal internasional yang sudah disepakati tidak dimonitor dan dievaluasi dalam pelaksanaannya sehingga pemerintah tidak mampu meningkatkan substansi yang terkandung di dalamnya;
4.      Perangkat dan masyarakat daerah tidak dilibatkan dalam pembuatan perjanjian penanaman modal internasional;
Kembali lagi ke soal ideologi atau spirit kepentingan nasional serta kesamaan kedudukan Indonesia, sehingga tidak ada istilah "harga mati" bagi sebuah perjanjian penanaman modal internasional. Tidak boleh ada pendapat yang menafikan terhadap upaya-upaya untuk menganalisa perjanjian penanaman modal internasional, karena hal itu bisa melanggar amanat undang-undang. Sebuah perjanjian internasional itu harus dikaji ulang dan dievaluasi keberadaannya. Karena itu harus ada pemikiran kritis pula ketika akan menyusun perjanjian penanaman modal internasional serta upaya untuk mengevaluasi keberadaannya sepanjang masa berlakunya masih berjalan.
Dalam tahap evaluasi bisa saja terjadi insiatif untuk merumuskan ulang (merenegosiasikan) terhadap klausul perjanjian yang sudah disepakati. Usulan renegosiasi tersebut dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengubah ketentuan dalam perjanjian penanaman modal internasional agar lebih menguntungkan. Tentu saja usulan perubahan (renegosiasi) itu harus dimulai dengan meminta negara mitra memberikan keseimbangan atas usulan perubahan yang dimaksud.
Semua komponen bangsa ini sesungguhnya berhak untuk mengevaluasi sebuah perjanjian penanaman modal internasional dari saat mulai dirumuskan sampai dalam tahap pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahkan mengamanatkan jika terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, pemerintah bisa saja mengakhiri sebuah perjanjian internasional (yang tentunya tetap menggunakan mekanisme hukum internasional yang berlaku). Selain soal kepentingan nasional, pemerintah bahkan diamanatkan untuk mengakhiri sebuah perjanjian internasional karena:
1.      Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
2.      Tujuan perjanjian telah tercapai;
3.      Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
4.      Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
5.      Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama;
6.      Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
7.      Objek perjanjian hilang.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dalam mengadakan dan menyepakati perjanjian internasional (hanya) berada di tangan presiden atau menteri luar negeri, maka lembaga negara maupun lembaga pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah (sebagai pihak yang berkepentingan) harus berkonsultasi dan berkoordinasi dahulu jika ingin merencanakan membuat perjanjian internasional.
Sesuai dengan Amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional,pada Pasal 4 dalam hal ini Menyangkut penanaman Modal menggariskan:
1.      Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan suatu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
2.      Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

B.     Saran
Keberadaan sebuah perjanjian internasional memang tidak perlu disakralkan. Ia memang harus ditaati karena sudah menjadi komitmen antar-negara dan berlaku secara internasional, namun juga boleh diakhiri jika merugikan kepentingan nasional. Yang perlu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian, kecermatan dan ketelitian yang tinggi ketika akan membuat (merumuskan) perjanjian penanaman modal internasional. Dan selanjutnya jangan pernah lalai mengevaluasi sebuah perjanjian penanaman modal internasional yang masih berlaku. Cara ini akan lebih bijak ketimbang mendiamkan begitu saja keberadaan sebuah perjanjian penanaman modal internasional yang bisa saja semakin lama berpotensi memporak-porandakan iklim investasi Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yang Sopan yah!