BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
dekade terakhir, penanaman modal tidak saja merupakan kebutuhan penting bagi
suatu negara dalam pengembangan pembangunan ekonomi. Namun, juga merupakan
sarana utama dalam pengembangan suatu industri. Terutama dalam era ini,
liberalisasi dan globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk
dalam bidang investasi asing atau penanaman modal asing. Liberalisasi di bidang
penanaman modal mengalir seperti air mengikuti arus membidik/mencari daerah
sasaran yang paling menguntungkan. Investasi menggelinding laksana bola ke
seluruh bagian penjuru dunia tanpa suatu hambatan berarti. Liberalisasi ekonomi
dunia telah menghapuskan hambatan-hambatan yang dulu menghadang pananaman
modal, baik hambatan tarif (tariff
barriers) maupun hambatan nontarif (nontariff barriers). Globalisasi ekonomi dunia telah meniadakan
sekat-sekat batas hubungan ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas (borderless). Investasi telah
mengglobal, sebagaimana pasar global (global
market) yang telah siap menerima hasil produk penanaman modal tersebut.
Indonesia
adalah negara berkembang yang memerlukan investasi untuk meningkatkan dan
mencapai pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk menyediakan kesempatan kerja,
mengembangkan industri substitusi impor, dorong barang industri, transfer
teknologi, membangun infrastruktur, dan mengembangkan daerah yang kurang
beruntung (daerah miskin). Pembangunan ekonomi dapat dilihat dari arus
investasi, khususnya investasi asing yang memiliki tujuan untuk mendapatkan
biaya tenaga kerja murah, dekat dengan sumber bahan produksi, mencari pasar
baru, alih teknologi, royalty, keuntungan penjualan barang dan suku cadang,
insentif lainnya, seperti pajak dan bea impor, juga status hukum dari negara
tertentu dalam perdagangan internasional. Untuk menentukan adanya kepastian
hukum di suatu negara dapat diukur dari sistem hukum yang terdiri dari tiga
faktor yaitu: substansi hukum, stuktur hukum dan budaya hukum. Kepastian hukum
ini harus mencakup aspek substansi hukum yang didukung oleh struktur hukum dan
budaya hukum.
Penanaman
modal menjadi suatu hubungan ekonomi internasional yang tidak terelakkan.
Sebagaimana hubungan ekonomi internasional lainnya, penanaman modal menjadi
suatu tuntutan guna memenuhi kebutuhan suatu negara, perusahaan dan juga
masyarakat. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing pihak saling
membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingannya. Hal
tersebut ditunjang adanya kesepakatan masyarakat internasional dalam
liberalisasi dan globalisasi ekonomi, sehingga terjadi peningkatan hubungan
penanaman modal internasional. Adanya perbedaan geografis, kondisi wilayah,
potensi sumber daya alam, kemampuan sumber daya manusia, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi menyebabkan Negara berada dalam interdepedensi.
Di
lain sisi negara penerima modal (host
country) membutuhkan sejumlah dana dan teknologi dan keahlian (skill) begi kepentingan pembangunan
dalam bentuk investasi. Disisi lain, investor sebagai pihak yang berkepentingan
untuk menanamkan modal memerlukan bahan baku, tenaga kerja, sarana prasarana,
pasar, jaminan keamanan dan kepastian hukum untuk dapat lebih mengembangkan
usaha dan memperbesar perolehan keuntungan. UU No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal tersebut menggabungkan investasi asing dan investasi dalam
negeri dalam satu undang-undang, yang didasarkan pada asas kesetaraan bagi
semua investor. Kebijakan dasar investasi dalam UU Penanaman Modal dimaksud
adalah memberikan perlakuan yang sama antara investor dalam negeri dengan
investor asing, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. UU Penanaman
Modal menegaskan bahwa investasi di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas
kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, dan perlakuan yang sama bagi
investor dalam negeri maupun investor asing, kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, dan
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pada dasarnya, asas
perlakuan yang sama merupakan hal yang sangat fundamental dalam sebuah
perikatan termasuk juga halnya dengan berinvestasi. Adanya asas perlakuan yang
sama bagi semua investor menjadi landasan pengaturan investasi langsung dalam
satu undang-undang, yang sebelumnya terpisah dalam peraturan perundang-undangan
yang berbeda-beda. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara
yang melakukan investasi dimaksudkan sebagai asas perlakuan non-diskriminatif
baik antara investor dalam negeri dengan investor asing, maupun antara investor
dari satu negara asing dengan investor dari negara asing lainnya.
Perundingan
investasi bilateral semakin banyak dilakukan oleh negara-negara dalam beberapa
tahun terakhir. Kecenderungan ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa
perundingan investasi di forum multilateral atau forum WTO mengalami kebuntuan.
Semakin banyaknya perundingan tingkat bilateral ini didorong oleh alasan
pragmatis. Perundingan bilateral melibatkan lebih sedikit negara, yang
membutuhkan biaya relative lebih rendah dan meminimalkan potensi timbulnya
masalah rumit yang berada di luar jangkauan negara-negara kecil. Perjanjian
BITs di bidang investasi antar negara telah berkembang dalam dekade-dekade
terakhir dan bahkan telah menjadi salah satu perjanjian internasional yang
penting.
B.
Tujuan Penulisan
Karya
ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum
Penanaman Modal serta agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang Bagaimana
pengaturan perjanjian Internasional di Indonesia dalam Penanaman Modal.
C.
Rumusan
Masalah
Agar tidak menjadi bias dan
melebarnya pembahasan dalam Makalah ini, maka perlu untuk mengangkat
permasalahan yang dijadikan sebagai landasan atau acuan maka permasalahan yang
akan dibahas adalah “Bagaimana pengaturan perjanjian Internasional di
Indonesia dalam Penanaman Modal?”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Bilateral Investment Treaties (BITs)
Bilateral Investment
Treaties (BITs) adalah perjanjian penanaman modal yang disepakati oleh
dua Negara. Berdasarkan perjanjian tersebut, mereka sepakat untuk saling
melindungi setiap bentuk kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh investor
antar-kedua negara.
Pengertian lain dari BITs ini adalah perjanjian antara kedua
negara negara promosi, dorongan dan perlindungan timbal balik investasi ke
masing-masing wilayah oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di negara lain.
Biasanya perjanjian ini mencakup bidang-bidang berikut: ruang lingkup dan
defenisi dari investasi, penerimaan dan pembentukan, perlakuan nasional,
pengoobatan yang paling dibutuhkan oleh suatu negara, perlakuan yang adil dan
merata, kompensasi dalam hal terjadi pengambilalihan atau kerusakan dengan
investasi, jaminan dan transfer dana gratis, dan mekanisme penyelesaian
sengketa, baik antara negara-negara maupun investor dengan negara.
B.
Pengertian
Investasi / Penanaman Modal
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (UUPM) dikemukakan, penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan
penanaman modal, baik oleh penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal
asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, investasi diartikan
sebagai penanaman uang atau di suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan
memperoleh keuntungan. Pada dasarnya investasi adalah membeli suatu asset yang
diharapkan di masa datang dapat dijual kembali dengan nilai yang lebih tinggi.
Investasi juga dapat dikatakan sebagai suatu penundaan konsumsi saat ini untuk
konsumsi masa depan. Harapan pada keuntungan di masa datang merupakan
kompensasi atas waktu dan resiko yang terkait dengan suatu investasi yang
dilakukan.
Dalam kamus Istilah Keuangan dan Investasi digunakan istilah investment (investasi) yang mempunyai
arti: “Penggunaan modal untuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang
menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke
resiko yang dirancang untuk mendapatkan modal. Investasi dapat pula menunjuk ke
suatu investasi keuangan (dimana inventor menempatkan uang ke dalam suatu
sarana) atau menunjuk ke investasi suatu usaha atau waktu seseorang yang ingin
memetik keuntungan dari keberhasilan pekerjaannya”.
Dalam Kamus Hukum Ekonomi digunakan terminology, investment, penanaman modal,
investasi yang berarti penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka
panjang misalnya berupa pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli
sekuritas dengan maksud untuk memperoleh keuntungan.
C.
Perjanjian
Internasional di Indonesia dalam Penanaman Modal
Menurut Ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2000, Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama
tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
Negara-negara
dunia sangat memanfaatkan kerja sama penanaman modal internasional sebagai
forum untuk menyepakati berbagai isu penanaman modal terkini, Banyak
Topik-topik global yang menjadi pokok bahasan aktual. Topik-topik tersebut
didiskusikan pada forum bilateral, dua negara yang bersepakat akan
menjadikannya sebagai sebuah langkah taktis untuk menciptakan daya saing maupun perlindungan bagi kegiatan penanaman
modal di negaranya. Atau bisa juga isu-isu aktual tadi diimplementasikan lebih
akurat agar dapat mempercepat dan mempertegas perjanjian penanaman modal yang
bersifat regional, plurilateral bahkan multilateral.
Setiap
anggota Delegasi Republik Indonesia (DELRI) yang akan menyepakati klausul
International Investment Agreements perlu memiliki wawasan kebangsaan yang
tinggi. Mereka bahkan harus menempatkan spirit kepentingan nasional di atas segala-galanya seperti sebuah
ideologi yang menyatu di hati dan sanubari. Di benak mereka harus terus
merancang strategi bagaimana memosisikan
Indonesia agar sejajar dengan negara-negara mitra runding yang
delegasinya tepat berada di hadapan meja perundingan mereka.
Karena
dituntut untuk menciptakan kesetaraan posisi Indonesia dengan negara-negara
lain, para anggota DELRI harus piawai merumuskan dan menyepakati klausul
International Investment Agreements yang dapat memberikan keuntungan sejajar.
Penciptaan posisi tawar yang sepadan ini merupakan hak anggota DELRI yang
dilindungi hukum nasional maupun hukum internasional, Sehingga betapa posisi
suatu negara menjadi sangat tergantung dari sense of nationhood yang dimiliki para perunding. Ada mekanisme
dalam hukum internasional yang membolehkan suatu negara tidak menyepakati suatu
ketentuan dalam perjanjian internasional. Mekanisme itu disebut reservation (persyaratan) yang
merupakan pernyataan sepihak suatu negara untuk menolak berlakunya suatu
perjanjian internasional. Persyaratan
tersebut dapat dilontarkan saat menandatangani, menerima, menyetujui atau
mengesahkan naskah perjanjian internasional.
Atau
bisa juga para perunding melakukan declaration
(pernyataan). Hak itu dapat diajukan jika makna suatu perjanjian yang akan
disepakati masih menyisakan banyak pertanyaan sehingga diperkirakan dapat
merugikan kepentingan nasional. Declaration
dilakukan dengan memberi catatan atau memperjelas makna ketentuan pada naskah
perjanjian internasional. Sebagaimana reservation,
pernyataan juga dilakukan
ketika menandatangani, menerima, menyetujui bahkan mengesahkan perjanjian
internasional yang biasanya bersifat multilateral.
Declaration dilakukan untuk memperjelas makna ketentuan perjanjian dan
tidak untuk mempengaruhi hak dan kewajiban suatu negara dalam suatu perjanjian
internasional. Hak ini diajukan secara sepihak oleh suatu negara dalam memahami
atau menafsirkan suatu ketentuan perjanjian internasional, yang sekali lagi
tentunya untuk diselaraskan dengan kepentingan nasional.
Reservation maupun Declaration
biasanya akan menjadi senjata ampuh bagi para perunding yang bersuara kritis
dalam membela kepentingan bangsa dan negaranya. Hal itu bisa terjadi karena
pada forum perundingan internasional juga bisa diisi dengan berbagai
kepentingan (agenda) negara-negara tertentu.
Misalnya
seperti yang terjadi pada World Trade Organization yang bermarkas di Jenewa,
Swiss. Sejak berdiri pada Januari 1995, bukan berarti forum itu selalu
menghasilkan berbagai kesepakatan perdagangan global yang bebas dari
kepentingan negara-negara tertentu. Meski bertaraf internasional, kinerja forum
WTO tidak menjamin selalu terbebas dari keputusan yang tidak demokratis.
Seringkali
pencapaian suatu keputusan di WTO dipengaruhi oleh empat kelompok negara maju,
seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada dan Uni Eropa. Di tengah kondisi
seperti itu, pertemuan akbar WTO sering hanya menjadi ajang dengar pendapat
dari negara anggotanya (per Juli 2008 mencapai 153 negara). Sementara kegiatan
pengambilan keputusan berlangsung di Green Room, tempat berkumpulnya
negara-negara berpengaruh tersebut dengan cara menggelar forum Ministerial
Conference setiap 2 (dua) tahunan.
Karena
nuansa pengambilan keputusan yang tidak demokratis, negara-negara (yang
rata-rata negara berkembang) anggota lainnya hanya bisa menyetujui sebuah
keputusan dengan sangat terpaksa. Ini sangat dramatis, karena di tengah belum
adanya kesiapan negara-negara berkembang beradaptasi dengan iklim liberalisasi
namun mereka harus mengakuinya dengan cara yang tidak aspiratif. Di sisi lain,
jika kesepakatan itu kemudian dilalaikan, mereka akan terkena sanksi ekonomi
dari WTO. Karena itu hak declaration
atau reservation menjadi
senjata andalan para perunding untuk memasukkan kepentingan nasional dan
kesetaraan negaranya dalam sebuah forum kerja sama multilateral.
Kepentingan
nasional dan kesetaraan Indonesia di antara bangsa-bangsa lain memang tidak
bisa ditawar ulang, sehingga harganya harus diajukan setinggi langit. Ada pesan
sinis yang kerap kali dikumandangkan oleh masyarakat yang menyatakan dirinya
cinta bangsa dan negara kepada para elite bangsa ini, seperti:
1.
Jangan pernah menggadaikan bangsa dan negara!
2.
Jangan mau dinjak-injak oleh kepentingan asing!
3.
Jangan menjadi liberal atau neo-liberal!
4.
Jangan memperjuangkan kepentingan asing karena pasti
menekan perekonomian rakyat?
Jika
disimak, pernyataan kaum nasionalis tadi memang terasa memerahkan telinga.
Namun jika dikaji lebih mendalam, apa yang mereka propagandakan selama ini
ternyata sangat sesuai dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, pada Pasal 4 menggariskan:
1.
Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian
internasional dengan suatu negara atau lebih, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
2.
Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah
Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
Untuk
meyakinkan kepentingan nasional dan kesetaraan kedudukan Indonesia telah
terakomodasi dengan baik pada suatu perjanjian internasional, seperangkat
prosedur telah disiapkan untuk mengujinya ketika perjanjian internasional
dibawa pulang ke Tanah Air. Prosedur itu bertujuan untuk menyeleksi apakah
spirit yang terkandung di dalamnya telah sesuai dengan semangat dalam
undang-undang tentang perjanjian internasional. Sebab bisa saja para juru
runding yang tergabung di dalam DELRI sempat lalai melaksanakan amanat
masyarakat dan bangsa Indonesia tersebut.
Namun
demikian, proses untuk menampilkan naskah perjanjian yang sesuai dengan
kepentingan nasional serta prinsip-prinsip persamaan kedudukan yang saling
menguntungkan sesungguhnya telah diawali saat perjanjian internasional akan
dibuat. Upaya seleksi preventif itu dimulai saat proses pembuatan perjanjian
internasional diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Karena kewenangan
dalam mengadakan dan menyepakati perjanjian internasional (hanya) berada di
tangan presiden atau menteri luar negeri, maka lembaga negara maupun lembaga
pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah (sebagai pihak yang
berkepentingan) harus berkonsultasi dan berkoordinasi dahulu jika ingin
merencanakan membuat perjanjian internasional.
Melalui
mekanisme tersebut, spirit untuk menjaga kepentingan nasional serta kesetaraan
Indonesia dengan negara-negara lain telah mulai dijalankan. Sebab setelah
menteri luar negeri menyetujui usulan pembuatan perjanjian internasional,
langkah selanjutnya adalah merumuskan posisi Pemerintah Republik Indonesia
dengan cermat. Kertas posisi yang menjadi pedoman para anggota DELRI ketika
terjun di arena perundingan itu memuat:
1.
Latar belakang permasalahan;
2.
Analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan
yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional
Indonesia;
3.
Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat
dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
Melalui tahapan ini terlihat betapa
tinggi semangat bangsa ini dalam menjaga kepentingan nasionalnya serta
menciptakan kesetaraan posisinya. Dan hal itu sudah dimulai pada saat inisiatif
awal rencana pembuatan perjanjian internasional sedang digulirkan. Selanjutnya
spirit itu harus terus dikembangkan secara lebih bermakna oleh para perunding
Indonesia yang memiliki kesempatan duduk di meja perundingan. Jadi, betapa
nasib bangsa ini ke depan sangat tergantung dari peran, kecerdasan dan
kelihaian para perunding tersebut yang memang terlibat aktif dari mulai tahap
penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan sampai saat
penandatanganan perjanjian internasional.
Kemudian, apakah tahap penjagaan
sebuah perjanjian internasional telah selesai hanya pada upaya selektif yang
preventif tadi? Ternyata masih ada tahap korektif yang perlu dilalui sampai
sebuah naskah perjanjian internasional diberlakukan di masyarakat. Tahap
seleksi korektif berikutnya dimulai ketika perjanjian internasional yang telah
selesai disepakati kemudian dibawa pulang ke Tanah Air untuk dilakukan proses
pengesahannya. Di tahap ini, tingkat kewenangan proses ratifikasi sebuah
perjanjian internasional akan dibedakan sesuai substansi klausul
kesepakatannya.
Proses ratifikasi di tingkat
parlemen perlu dilakukan terhadap perjanjian internasional yang menyepakati
masalah mendasar (penting), seperti:
1.
Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan
negara;
2.
Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
Republik Indonesia;
3.
Kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4.
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5.
Pembentukan kaidah hukum baru;
6.
Pinjaman serta hibah luar negeri;
Melalui
ratifikasi di tingkat parlemen, diharapkan spirit tentang kepentingan nasional
dan kesetaraan Indonesia dapat diseleksi kembali keberadaannya oleh para
anggota dewan yang duduk di parlemen. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
merupakan representasi rakyat Indonesia tersebut diharapkan mampu memberi
penekanan yang baik terhadap naskah perjanjian internasional yang telah
ditandangani oleh eksekutif yang tergabung sebagai anggota DELRI. Selanjutnya
untuk perjanjian internasional yang memiliki subtansi tidak terlalu krusial,
proses ratifikasinya cukup melalui keputusan presiden.
Lalu
setelah selesai diratifikasi, apakah perjanjian internasional benar-benar
mendapat pengakuan yang bulat? Ternyata tidak juga. Langkah penyensoran masih
dapat dilakukan, meski sebuah perjanjian internasional sudah memasuki tahap
pemberlakuan. Pemerintah Republik Indonesia masih diperbolehkan melakukan
perubahan terhadap ketentuan-ketentuan pada perjanjian internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak yang terlibat di dalamnya. Meski demikian
perubahan itu tidak boleh bersifat mendasar, namun hanya bersifat teknis
administratif.
Sesungguhnya
telah banyak rambu-rambu atau petunjuk-petunjuk yang dikeluarkan untuk
menghasilkan naskah perjanjian internasional yang tidak menghianati asas
kepentingan nasional dan kesetaraan Indonesia. Salah satunya adalah skema
pembuatan perjanjian internasional yang disosialisasikan oleh Direktorat
Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia.
Di
bidang penanaman modal, SOP pembuatan perjanjian penanaman modal internasional
juga sangat diperlukan. Hal itu perlu dibuat agar kesepakatan sebuah perjanjian
penanaman modal internasional dapat dijalankan serempak dengan perangkat
pemerintah daerah dan masyarakatnya. Kondisi yang masih dihadapai saat ini
adalah nuansa ketidakpedulian perangkat dan masyarakat daerah terhadap
perjanjian bilateral, regional maupun multilateral di bidang penanaman modal
yang banyak disepakati oleh pemerintah pusat. Kurangnya apresiasi maupun
penghargaan dari mereka, karena:
1.
Perangkat dan masyarakat daerah tidak memahami
keberadaan, peran dan makna perjanjian penanaman modal internasional yang telah
disepakati pemerintah Indonesia bagi perkembangan penanaman modal nasional;
2.
Naskah perjanjian penanaman modal internasional tidak
mengikat hal-hal yang aplikatif dan akurat dengan persoalan dan kebutuhan
penanaman modal nasional;
3.
Perjanjian penanaman modal internasional yang sudah
disepakati tidak dimonitor dan dievaluasi dalam pelaksanaannya sehingga
pemerintah tidak mampu meningkatkan substansi yang terkandung di dalamnya;
4.
Perangkat dan masyarakat daerah tidak dilibatkan dalam
pembuatan perjanjian penanaman modal internasional;
Kembali
lagi ke soal ideologi atau spirit kepentingan nasional serta kesamaan kedudukan
Indonesia, sehingga tidak ada istilah "harga mati" bagi sebuah
perjanjian penanaman modal internasional. Tidak boleh ada pendapat yang
menafikan terhadap upaya-upaya untuk menganalisa perjanjian penanaman modal
internasional, karena hal itu bisa melanggar amanat undang-undang. Sebuah
perjanjian internasional itu harus dikaji ulang dan dievaluasi keberadaannya.
Karena itu harus ada pemikiran kritis pula ketika akan menyusun perjanjian
penanaman modal internasional serta upaya untuk mengevaluasi keberadaannya
sepanjang masa berlakunya masih berjalan.
Dalam
tahap evaluasi bisa saja terjadi insiatif untuk merumuskan ulang
(merenegosiasikan) terhadap klausul perjanjian yang sudah disepakati. Usulan
renegosiasi tersebut dapat dimanfaatkan Indonesia untuk mengubah ketentuan
dalam perjanjian penanaman modal internasional agar lebih menguntungkan. Tentu
saja usulan perubahan (renegosiasi) itu harus dimulai dengan meminta negara
mitra memberikan keseimbangan atas usulan perubahan yang dimaksud.
Semua
komponen bangsa ini sesungguhnya berhak untuk mengevaluasi sebuah perjanjian
penanaman modal internasional dari saat mulai dirumuskan sampai dalam tahap
pelaksanaannya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional bahkan mengamanatkan jika terdapat hal-hal yang merugikan
kepentingan nasional, pemerintah bisa saja mengakhiri sebuah perjanjian
internasional (yang tentunya tetap menggunakan mekanisme hukum internasional
yang berlaku). Selain soal kepentingan nasional, pemerintah bahkan diamanatkan
untuk mengakhiri sebuah perjanjian internasional karena:
1.
Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang
ditetapkan dalam perjanjian;
2.
Tujuan perjanjian telah tercapai;
3.
Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan
perjanjian;
4.
Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian;
5.
Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan
perjanjian lama;
6.
Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
7.
Objek perjanjian hilang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
mengadakan dan menyepakati perjanjian internasional (hanya) berada di tangan
presiden atau menteri luar negeri, maka lembaga negara maupun lembaga
pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah (sebagai pihak yang
berkepentingan) harus berkonsultasi dan berkoordinasi dahulu jika ingin
merencanakan membuat perjanjian internasional.
Sesuai
dengan Amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang
Perjanjian Internasional,pada Pasal 4 dalam hal ini Menyangkut penanaman Modal
menggariskan:
1.
Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian
internasional dengan suatu negara atau lebih, organisasi internasional, atau
subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
2.
Dalam membuat perjanjian internasional, Pemerintah
Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan,
baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.
B.
Saran
Keberadaan
sebuah perjanjian internasional memang tidak perlu disakralkan. Ia memang harus
ditaati karena sudah menjadi komitmen antar-negara dan berlaku secara
internasional, namun juga boleh diakhiri jika merugikan kepentingan nasional.
Yang perlu diperhatikan adalah sikap kehati-hatian, kecermatan dan ketelitian
yang tinggi ketika akan membuat (merumuskan) perjanjian penanaman modal
internasional. Dan selanjutnya jangan pernah lalai mengevaluasi sebuah perjanjian
penanaman modal internasional yang masih berlaku. Cara ini akan lebih bijak
ketimbang mendiamkan begitu saja keberadaan sebuah perjanjian penanaman modal
internasional yang bisa saja semakin lama berpotensi memporak-porandakan iklim
investasi Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang Sopan yah!