BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Corak budaya
Indonesia memang sangat beragam ini merupakan aset yang besar dalam membangun
konsepsi hukum yang berkembang mengikuti masyarakat dan menjadikan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat dengan memfungsikan hukum sebagai
pengatur masyarakat.
Gadai merupakan
jaminan dengan menguasai bendanya, fidusia adalah jaminan dimana terhadap benda
jaminan hanya terjadi penyerahan hak kepemilikan tetapi secara fisik benda
tersebut masih dalam penguasaan debitur, sedangkan hak tanggungan merupakan
jaminan dengan tanpa menguasai bendanya. Jaminan dengan menguasai bendanya bagi
kreditur akan lebih aman, karna mengingat pada benda bergerak mudah dipindah
tangankan dalam arti dijual lelang jika debitur wanprestasi walaupun mudah
untuk berubah nilainya.
Pegadaian yang ada
sekarang berdasarkan peratura pemeritah No. 103 tahun 2000 tentang pengalihan
bentuk perushaan jawatan pegadaian menjadi perusahaan umum pegadaian berbentuk
perum yang merupakan BUMN yang mengemban
misi untuk menyedaikan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk
keuntungan berdasarkan prinsif pengelolaan perusahaan, penyaluran uang pinjaman
kepada masyarakat didasarkan pada hukum gadai. Hukum gadai yang dijadikan dasar
dari perum pegadaian adalah dari tahun 1928, yaitu aturan dasar pegadaian.
Secara penuh perum pegadaian menguasai fisik objek jaminan, sehingga sebagian
besar masalah rusak atau hilangnya objek jaminan (bukan karna alasan force
majeure) lebih dikarenakan konsep kerja dari pegawai perum pegadaian itu
sendiri, maka sangat tepat dibuat suatu kajian yang lebih mendalam berkaitan
dengan pertanggung jawaban perum pegadaian secara hokum terhadap tindakan
wanprestasi yang menyebabkan rusak atau hilang/musnahnya objek jaminan, karena
persoalan yang Nampak dominan disebabkan kelalaian pagawai perum pegadaian.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
perlindungan hukum terhadap debitur dalam hal terjadinya wanprestasi yang
dilakukan pihak perum pegadaian terhadap benda jaminan gadai milik debitur?
2. Bagaimana
konsekuensi yuridis dan tanggung jawab perum pegadaian dalam hal tindakan
wanprestasi yang dilakukan perum pegadaian.
C.
Tujuan
penulisan
Karya ilmiah ini
dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Perdata serta
agar ingin lebih megkaji dan memahami tentang perlindunan hokum terhadap
debitur dalam hal terjadinya wanprestasi yang dilakukan pihak perum pegadaian
terhadap benda jamninan gadai milik debitur.
Disampaing itu
penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, yakni sebagai sebagai
sumbangan pemikiran dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya hokum
perdata.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Perlindungan
Hukum Terhadap Debitur Dalam Hal Terjadinya Wanprestasi Yang Dilakukan Pihak
Perum Pegadaian Terhadap Benda Jaminan Gadai Milik Debitur
Prestasi menurut
hokum perdata sebagaimana diatur dalam pasal 1234 KUHPerdata adalah untuk
memberikan sesuatu, umtuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan
wanprestasi dalam hokum perdata ada tiga jenis, yaitu :
1. Tidak
memenuhi prestasi sama sekali
2. Terlambat
memenuhi prestasi
3. Memenuhi
prestasi secara tidak baik
Dalam sub ini focus
pembahasan terhadap tindakan wanprestasi yang dilakukan perum pegadaian pada
benda jaminan milik debitur kaitannya dengan perlindungan hokum bagi debitur
karena akibat wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi
terhadap benda jaminan gadai milik debitur dapat berupa :
1. Karena
kelalain karyawan perum pegadaian menyebabkan benda jaminan tertukar.
2. Karena
kelalaian perum pegadaian menyebabkan benda jaminan hilang
3. Karena
kelalain perum pegadaian menyebabkan benda jaminan rusak.
Menyangkut ketiga
aspek di atas, maka perlu juga
dikemukakan dasar dari kewajiban pemegang gadai yaitu :
1. Keewajiban
memberitahukan kepada pemberi gadai jika barang gadai dijual.
2. Kewajiban
memelihara benda gadai.
3. Kewajiban
untuk memberitahukan perhitungan antara hasil penjualan barang gadai dengan
besarnya piutang kepada pembeli gadai
4. Kewajiban
untuk mengembalikan barang gadai menurut pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata,
kewajiban ini dilaksanakan karena :
a. Kreditur
telah menyalah gunakan barang gadai
b. Debitur
telah melunasi sepenuhnya, baik uang pokok, bunga dan biaya hutangnya serta
biaya untuk menyelamatkan barang gadai
5. Kewajiban
untuk memperhitungkan hasil penagihan bunga piutang gadai dengan besarnya bunga
piutangnya kepada debitur.
6. Kewajiban
untuk mengembalikan sisa hasil penagihan piutang gadai kepada pemberi gadai.
Dasar-dasar pikiran
di atas menggaris bawahi bahwa perlindungan hokum bagi debitur karena tindakan
wanprestasi yang di lakukan perum penggadaian, semestinya di perluas dan di
pertegas, dapat di lihat bahwa hamper semua point di atas sebagai kewajiban
pemegang gadai tidak pernah di laksanakan, pemnetahuan masyarakat terhadap
keadaan benda jaminan gadai akan dilelang lewat informasi papan pengumuman di
penggadaian dan tidaka ada konfirmasi kepada pemilik benda jaminan terhadap
rencana lelang tersebut.
Pengumuman lelang di
papan pengumuman pada kantor cabang pengadaian, menurut penulis bukankah wujud
tanggung jawab pemegang gadai seperti yang di gariskan pada bagian pertama di
atas, barang kali lebih merupakan penyempitan makna pembritahuaan, tindakan ini
sebenarnya dapat juga di klasifikasikan sebagai tindakan wanprestasi, karena
memang perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak telah di kondisikan
demikian.
Tetapi terhadap
tindakan wanprestasi yang karena kelalaian karyawan perum penggadaian
menyebabkan benda jaminan dribitur hilang, rusak atau musnah, pengadaian tetap
berkomitmen untuk menganti,ada pun bentuk perlindungannya terkait dengan isi
perjanjian kredit dengan jaminan barang
bergerak, yaitu 125% dari nilai taksiran terhadap benda emas, dan biasanya
kewajiban mengganti baru terhadap benda-benda elektronik.
A.
Konsekuensi
yuridis dan tanggung jawab perum pengadaian dalam hal tindakan wanprestasi yang
dilakukan perum penggadaian
Tindakan wanprestasi
akan menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian, dalam perjanjian gadai,
wanprestasi dapat dilakukan oleh dibitur seperti tindakan tidak membayar
pinjaman dengan jaminan gadai pada pemegang gadai atau perum penggadaian atau
kreditur, akibat dari wanprestasi yang di lakukan oleh di bitur tersebut,
barang jaminan dapat saja di jual lewat lelang.
Tindakan wanprestasi
dapat di lakukan oleh kreditur atau perum penggadaian, tindakan wanprestasi ini
dapat berupa tertukarnya barang gadai, hilangnya barang gadai atau rusaknya
barang gadai, terhadap wanprestasi, pertanggung jawaban penggadaian di dasarkan
pada perjanjian gadai.
Menurut analisis
penulis perjanjian gadai itu sendiri merupakan perjanjian baku, yang intinya
bertentangan baik berdasarkan UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
khususnya pasal 18.sedangkan berdasarkan KUHPerdata pasal 1320 menyangkut
syarat-syarat sahnya perjanjian :
1. Kesepakatan
atau persetujuan kehendak para pihak.
2. Kecakapan
para pihak dalam membuat suatu perjanjian .
3. Suatu
hal tertentu.
4. Suatu
causa atau sebab yabg halal.
Kesepakatan atau
persetujuan kehendak para pihak
Kedua subjek itu yang mengadakan perjanjian itu harus
bersepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang di adakan itu.Apa
yang di kehendaki oleh pihak yang satu,juga di kehendaki oleh pihak yang lain.
Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbale balik.
Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
Pernyataan dapat di lakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang
bebas sebagai sarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah, di anggap tidak
ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan(dwang),
kekhilafan(dwaling) dan penipuan(bedrog).
Kecakapan para pihak
dalam membuat suatu perjanjian
Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hokum.
Artinya orang yang membuat perjanjian alkan terikat oleh perjanjian itu, harus
mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab
yang di pikul atas perbuatanya. Sedangkan dari sudut ketertiban hokum, karena
orang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya maka orang
tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya.
Suatu hal tertentu
Bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu,
artinya apa yang di perjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika
timbul suatu perselisihan.
Suatu sebab atau causa
yang halal
Yang dimaksud dengan sebab adalah tujuan dari perjanjian itu
sendiri. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau di buat berdasarkan sebab yang
palsu atau sebab yang terlarang adalah batal demi hokum( vide Pasal 1335
KUHPerdata), artinya bahwa para pihak tidak terikat untuk memenuhi perjanjian
tersebut. Apabila salah satu pihak melakukan suatu gugatan menuntut pemenuhan
perjanjian perjanjian tersebut, gugatan akan ditolak dan perjanjian tersebut
akan dinyatakan batal demi hukaum. Oleh karena perjanjian tersebut di anggap
tidak ada sejak semula, maka para pihak akan di kembalikan pada keadaan semula.
Suatu sebab adalah di larang , apabila dilarang oleh UU, kesusilssn atau
ketertiban umum (vide pasal 1337 KUHPerdata).
Mungkin lebih tepatnya, bahwa terhadap perjanjian kredit
dengan jaminan barang bergerak, secara garis besar perlu di pertanyakan
menyangkut hal kesepakatan para pihak, memang debitur pada saat jaminan di
taksir di berikan perkiraan besaran pinjaman yang dapat diperoleh, tetapi
apakah negosiasi ini juga dapat di katakana suatu kesepakatan, bahwa tindakan
tersebut lebih di dasarkan kepentingan/ subyektifitas dari debitur yang di
nilai dan di tanggapi berdasarkan kebutuhan, namun format baku dalam perjanjian
gadai tetap menepatkan pegadaian dalam posisi yang berdasarkan konsekuensi
hukumnya sangat lemah, untungnya sejauh ini masyarakat yang berhubungan dengan
pegadaian lebih dominan adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
Berkaitan dengan kerugian karena perbuatan wan prestasi,
khususnya yang di lakukan kreditur, maka terhadap ganti ruginya dapat di
tuntut. Kerugian yang dapat di mintakan penggantian ini, tidak hanya yang
berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah di keluarkan, tetapi juga berupa
kehilangan keuntungan, yaitu keuntungan yang akan di dapat seandainya tidak terjadi
kelalaian.
Dengan syarat inbezitstelling sebagai syarat mutlah
terjadinya hak gadai, bukan berarti pemegang gadai mempunyai hak bezit atas
barang yang di gadaikan kepadanya. Pemegang gadai tidak mempunyai kemauan
menjadi eigenar atas benda gadai. Ia menguasai benda gadai untuk memberi gadai
sehingga kedudukan pemegang gadai atas benda gadai dapat di sebut
sebagai’’detentor’’.
Sebagai detentor pemegang gadai berkewajiban menjaga benda
jaminan gadai, baik terhadap kerusakan, kehilangan maupun terhadap keberadaan
benda jaminan gadai tersebut di tanganya, segala akibat dari kelalaian ( di
lauar keadaan Force Maejeure ) sehingga menyebabkan benda jaminan gadai, hilang
rusak atau tertukar menjadi tanggun jawab pemegang gadai dan sebagai
konsekuensi yuridisnya pemegang gadai berkewajiban menganti benda jaminan
tersebut. Ada beberapa kasus yang biasanya terjadi pada kantor pegadaian antara
lain :
1. Benda
jaminan rusak karena rayap, di sebabkan kurangnya perhatian terhadap keadaan
gudang/ruang penyimpanan, kerugian yang di alami rusaknya beberapa benda
jaminan berupa tape, terhadap keadaan demikian lewat kebijakan dan tindakan
cepat di lakuakan pengantian terhadap benda-benda tersebut, dengan benda
sejenis yang sama bahkan ada yang lebih mahal.
2. Benda
jaminan hilang dan tertukar, merupakan kejadian yang banyak terjadi sebagai
bagian dari tindakan wanprestasi yang di lakukan perum pegadaian, kondisi ini
di sebabkan oleh kelalaian karyawan kantor pegadaian tersebut, sebagai tindak
lanjut dari tindakan ini , maka perum pegadaian berpatokan pada isi perjanjian
kredit dengan jaminan barang bergerak, yaitu penggantian sebesar 125% bagi
benda jaminan emas dan barang elektronik.
Terhadap tanggung jawab perum pegadaian dengan
langkah-langkah demikian, memang kadang menggundang ketidak puasan dari
debitur, misalkan penggantian 125% terhadap benda emas, di anggap masih kurang
pantas.
Namun menurut bagian umum kanwil pegadaian, harga tersebut
adalah tepat karena merupakan harga yang di dasarkan pada taksiran sebenarnya
secara internasional, justru sebaliknya bentuk penjualan emas yang ada sekarang
dengan menetapkan besaran karat/kadar lebih kea rah organisasi pedagang emas,
yang berorientasi keuntungan, dengan pencantuman kadar tidak sebenarnya dalam
hal ini pegadaian tidak mau terjebak pada sekema perhitungan demikian
Jadi terhadap kerugian-kerugian yang di alami debitur karena
kelalaian perum pegadaian tetap akan di pertanggung jawabkan oleh pegadaian,
sepanjang kerugian yang di alami dapat di buktikan kebenarannya, namun
pertanggung jawaban yang di berikan selalu terikat pada skema pertanggung
jawaban seperti yang tercantum dalam perjanjian gadai, kecuali ada peraturan
lain dalan lingkup benda tersebut, misalnya ganti rugi terhadap berlian.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan
yang telah ada dengan berdasarkan pada permasalahan yang ada dapat disimpulkan
bahwa :
1.
Perlindungan hokum yang diberikan pegadaian
selama ini terhadap debitur dalam hal terjadinya wanprestasi yang dilakukan
perum pegadaian terhadap benda jaminan gadai milik debitur, selalu didasarka
pada isi perjanjian kredit dengan jaminan barang bergerak, memang perlindunagn
hokum yang didasarkan pada isi perjanjian gadai tersebut masih jauh dari
sempurna, namun menurut perum pegadaian perlindungan tersebut juga didasarkan
pada peraturan-peraturan lainnya misalnya terhadap benda jaminan berupa
berlian. Selain dari hal-hal khusus tersebut kerusakan, hilang, musnah atau
tertukarnya benda jaminan akan diganti berdasarkan isi dari perjanjian gadai
yaitu pengenaan 125% dari nilai taksiran.
2. Konsekuensi
yuridis dan tanggung jawab perum pegadaian terhadap tindakan wanprestasi yang
dilakukan perum pegadaian selama ini, seperti yang terjadi pada beberapa kasus
di pegadaian, adalah penggantian sebesar 125% untuk emas dan penggantian barang
baru untuk jenis-jenis barang elektronik, nilai tersebut dianggap nilai yang
pantas menurut perum pegadaian.
B.
Saran
Adapun saran-saran
yang dapat penulis berikan adalah :
1. Perlu
untuk ditinjau kembali perluasan terhadap perlindungan debitur terhadap
tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh perum pegadaian, karena isi dari
perjanjian kredit gadai dengan jaminan barang bergerak yang ada sekarang jauh
lebih lengkap.
2. Perlu
untuk membuat isi perjanjian dengan huruf cetak yang lebih besar, supaya
hak-hak konsumen dapat terbaca dan diketahui secara luas, karena huruf yang
ada sekarang terlampau kecil, sehingga banyak debitur tidak mengetahui
hak-haknya.
3. Perlu
dipertimbangkan prosedur standart yang baik, berupa mekanisme pemberitahuan terhadap
debitur menyangkut hak-hak debitur dalam perjanjian gadai.
Daftar pustaka
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata.
PT.Intermasa. Jakarta. 1987.
-------. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.
1987
Satrio.J, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan. PT.
Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yang Sopan yah!